DI tengah upaya sejumlah negara yang mencoba melakukan transisi demokrasi, masyarakat di negara-negara demokrasi baru justru mengalami titik balik dan mengekspresikan kemuakkan mereka pada praktik demokrasi yang semakin elitis. Gerakan-gerakan bercorak “occupy” atau pendudukan yang marak baik di negara-negara industri utama maupun di negara berkembang meneriakan panji-panji kemuakkan pada ketamakan politisi dan korporasi.
Para politisi dan jejring korporasi dianggap telah mendorong demokrasi pada wataknya yang amat korporatik. Demokrasi hanya memiliki semangat kebebasan (liberalization), namun gagal memunculkan elan pembebasan (liberation). Para politisi dan pemegang kekuasaan yang lahir dari ruang demokrasi korporatik kerap menjadi “juru stempel” dan juru keamanan bagi ekspansi korporasi di negara-negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Hal ini dianggap mengulang kembali cerita lama kolonialisme yang pernah menjadi dekade kelam dalam pembangunan negara-negara pasca-kolonial. Kaum politisi dan korporasi dianggap bertanggungjawab atas berbagai eksploitasi sistematis yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Dalam skala yang berbeda, problem kolaborasi politisi dan korporasi juga berlangsung di tanah air. Peristiwa-peristiwa kekerasan mutakhir di tanah air seperti yang berlangsung di sejumlah daerah memberi isyarat tentang “bom waktu” konflik yang dipicu oleh ekspansi korporasi di satu sisi dan marjinalisasi masyarakat lokal dalam kehidupan demokrasi pada sisi yang lain. Dalam kegairahan bangsa ini terhadap proses liberalisasi politik maupun demokratisasi, muncul paradoks besar ihwal pembangunan ekonomi. Pemimpin-pemimpin lokal yang dipilih secara demokratis melalui ritus pilkada nyaris hanya menyisakan “kematian” pembangunan di daerah. Infrastruktur di banyak tempat seperti jalan raya dibiarkan merana. Para pemimpin lokal terjebak dalam kasus-kasus anggaran dan terlibat dalam kasus korupsi. Ironisnya, di tengah suasana itu tersiar kabar sejumlah pemimpin lokal yang korup mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat.
Di seberang lainnya, pemimpin lokal yang dibayangkan oleh media memiliki sedikit prestasi, tiba-tiba merasa mendapat syahwat politik dan begitu percaya diri bertarung menjadi pemimpin di daerah lainnya ketimbang menuntaskan agenda-agenda kesejahteraan di daerahnya.
Inilah jaman korporasi demokrasi yang ditandai keterputusan antara mekanisme politik yang diproduksi kaum elite dan basis kehidupan riil yang dijalani publik. Untuk menjadi sebuah negara demokratis kini tinggal menggerakkan ujung jari dalam perangkat-perangkat canggih jejaring sosial. Tapi rute apa yang kemudian dipilih dan bagaimana demokrasi memberi pemihakan pada kehidupan sosial, nampaknya tetap memerlukan grerakan kritis dari gerakan sosial yang lebih nyata.
***
Aktor politik di negara-negara berkembang seharusnya memilliki kesadaran ideologis dengan melihat posisi bangsa mereka di tengah pusaran globalisasi saat ini. Kaum politisi di parlemen dan pengambil kebijakan adalah eksponen paling nyata dalam aransemen pembangunan karena otoritas mereka untuk mendesain berbagai regulasi dan menjaga konstitusi. Carut-marutdan involusi pembangunan di berbagai daerah saat ini mencerminkan dengan sangat kuat ihwal kemana sesungguhnya pemihakan politik kaum politisi kita.
Dalam berhadapan dengan arus korporasi yang dipompa oleh gelombang globalisasi, para politisi dituntut untuk tetap menjaga kedaulatan bangsanya. Mari kita simak catatan penting dari intelektual pengkritik globalisasi seperti Paul Hist dan Grahamme Thompson (1996). Keduanya menyebut bahwa globalisasi yang fair dan memberi ruang setara bagi semua negara sebenarnya tak pernah ada. Sambil menyebut globalisasi tak lebih dari sebuah mitos, keduanya juga menyangsikan tentang kiprah perusahaan trans-nasional (trans-national corporations/TNC’s) maupun perusahaan multi-nasional (multi-national corporations/MNC’s) dalam kontribusinya bagi keadilan ekonomi dunia. Perusahaan transnasional yang benar-benar murni juga tidak pernah ada. Hampir semua TNC maupun MNC besar dunia pada umumnya berbasis negara nasional dan kegiatan perdagangan mereka di seluruh dunia bertumpu pada kekuatan produksi dan pemasaran di lokasi nasional.
Hubungan antara negara dan korporasi dalam era globalisasi saat ini mengalami perubahan, namun sebenarnya sedang menjalankan cara produksi yang sama dibanding dengan fase kelam penjajahan dahulu. Masa kolonial adalah masa dimana “perusahaan dibawa oleh negara”. Sementara itu, fase neoliberal menyajikan fenomena dimana “negara dibawa oleh perusahaan”. Begitulah, pada jaman kolonialisme dahulu VOC dibawa oleh Belanda datang ke tanah Jawa. Kini, perusahan-perusahaan raksasa dunia akan menoleh ke negara induknya jika mengalami gangguan di negara tempatnya beroperasi. Mutatis mutandis, keduanya sedang menjalankan modus operasi yang sama. Maka argumen kaum neoliberal yang meyakini bekerjanya hukum pasar tanpa campur tangan negara, mungkin sudah menjadi semacam delusi akademik.
Sudah saatnya jaringan masyarakat sipil dari lintas bangsa menyeru tentang perlunya “moratorium” bagi mekanisme yang berlangsung dalam demokrasi yang terlalu dikendalikan oleh kekuatan korporasi. Sebaliknya, korporasi dan para politisi di berbagai belahan dunia harus mulai sadar dengan peran yang bisa mereka lakukan untuk memberi ruang penyelamatan bagi masyarakat luas sebelum titik balik kelelahan demokrasi datang dalam formatnya yang radikal dan terkadang kaotik. Demokrasi dan pembangunan harus merupakan proses bersama dan bukan sebuah proyek segelintir elite ekonomi dan politik dunia. Barangkali benar peradaban dunia selalu dibuat oleh mereka yang memiliki pendidikan dan memiliki modal yang besar. Tetapi, sejarah selalu bisa diinetrupsi oleh orang-orang yang lapar dan kehilangan hidupnya…
Leave a Reply