Mohon untuk tidak mengupload file materi perkuliahan yang berbentuk pdf, ppt, doc, xls ke Blog Staff UMY -- Silahkan upload file-file tersebut ke E-Learning Lubang Hitam Glpbalisasi – ADE M WIRASENJAYA

Lubang Hitam Glpbalisasi

DI tengah ekstravaganza yang dihasilkannya, globalisasi juga telah melahirkan semacam agony semesta. Gerakan menentang globalisasi yang akhir-akhir ini melanda dunia memberi gambaran tentang sisi gelap globalisasi. Bukan hanya berlangsung di wilayah-wilayah negara berkembang atau yang secara tradisional menjadi pengkritik negara-negara Barat, kini gerakan anti-globalisasi bahkan muncul di pusat gravitasi ekonomi dunia seperti Wall Sreet dan dilakukan secara massif oleh masyarakat Amerika sendiri. Jika di tanah Amerika saja kerakusan pelaku globalisasi begitu terasa, bagaimana jika kita melihatnya dari sebuah wilayah di negara berkembang seperti Indonesia?
Satu pesan kuat yang bisa kita tangkap dari gerakan anti-globalisasi akhir-akhir ini, yakni pada kejengkelannya yang mulai mencapai puncak pada para politisi dan pemegang kekuasaan yang kerap menjadi “juru stempel” dan anjing penjaga bagi ekspansi korporasi di negara-negara yang memiliki kekayaan alam melimpah. Hal ini dianggap mengulang kembali cerita lama kolonialisme yang pernah menjadi dekade kelam dalam pembangunan negara-negara pasca-kolonial. Dua aktor tersebut dianggap bertanggungjawab atas berbagai eksploitasi sistematis yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pihak korporasi menikmati keuntungan berlipat. Kaum politisi dan pemegang kebijakan mendapat bagian keuntungan itu atas jasa-jarasnya memberikan surat ijin dan mengirim pasukan penjaga keamanan bagi stabilitas produksi para pemilik modal.

Lubang hitam
Kritik atas globalisasi bukanlah hal baru. Sudah lama kaum intelektual, khususnya yang berada di jalur pesimis-globalis memandang bahwa globalisasi adalah sebuah sekuensi historis yang pertumbuhan dan persebarannya ada dalam logika pertumbuhan kolonialisme. Globalisasi adalah tahap kolonialisme yang mengalami pencanggihan (shopisticated colonialism). Intelektual pengkritik globalisasi seperti Paul Hist dan Grahamme Thompson (1996) menyebut bahwa globalisasi yang fair dan memberi ruang setara bagi semua negara sebenarnya tak pernah ada. Sambil menyebut globalisasi tak lebih dari sebuah mitos, keduanya juga menyangsikan tentang kiprah perusahaan trans-nasional (trans-national corporations/TNC’s) maupun perusahaan multi-nasional (multi-national corporations/MNC’s) dalam kontribusinya bagi keadilan ekonomi dunia. Perusahaan transnasional yang benar-benar murni juga tidak pernah ada. Hampir semua TNC maupun MNC besar dunia pada umumnya berbasis negara nasional dan kegiatan perdagangan mereka di seluruh dunia bertumpu pada kekuatan produksi dan pemasaran di lokasi nasional. Selain itu, keduanya juga menunjukkan bahwa lalu-lintas modal tidak mengakibatkan berpindahnya penanaman modal dan kesempatan kerja secara besar-besaran dari negara maju ke negara berkembang. Sebaliknya, penanaman modal asing (foreign direct investment) justru banyak terpusat di negara-negara industri maju, sementara mayoritas Dunia Ketiga tetap menempati posisi di pinggiran baik dari sisi investasi maupun perdagangan.
Globalisasi saat ini nyaris menyajikan lubang hitam yang menyedot berbagai sumber daya alam dan ekonomi negara-negara berkembang ke dalam mekanisme dan prosedur yang tunggal dan memusat. Perusahaan multi-nasional, negara-negara industri utama, lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan multilateral telah membentuk pakta dominasi dalam arsitektur ekonomi global saat ini. Tiga gugus globalisasi tersebut membangun koordinasi, baik laten maupun manifes, untuk mengatur pasar dan aspek-aspek ekonomi lainnya. Setelah rezim pasar terkonsolidasi, mereka mendisiplinkan negara-negara berkembang untuk menjadi aktor yang mendukung bekerjanya hukum pasar. Pasar yang murni, yang menjalankan modus invisible hands – sebagaimana keyakinan kaum Smithian, sebenarnya tak pernah berlangsung. Maka pasar bukanlah entitas yang tidak bisa dikendalikan dan sama sekali tidak punya imunitas dari kepentingan pakta dominasi. Pasar selaku punya jejak dan afinitas struktural dengan lembaga-lembaga dominan yag hadir pada fase neoliberal saat ini.
Sudah banyak data yang menunjukkan betapa sebuah perusahaan raksasa bisa mengeruk keuntungan berlipat-lipat dibanding pendapatan nasional sebuah negara. Namun ekspansi mereka juga senantiasa melibatkan rezim penguasa sebagai pemegang otoritas bagi pilihan-pilihan cara produksi dalam pembangunannya. Hubungan antara negara dan korporasi dalam era globalisasi saat ini mengalami perubahan, namun sebenarnya sedang menjalankan cara produksi yang sama dibanding dengan fase kelam penjajahan dahulu. Masa kolonial adalah masa dimana “perusahaan dibawa oleh negara”. Sementara itu, fase neoliberal adalah masa dimana “negara dibawa oleh perusahaan”. Begitulah, pada jaman kolonialisme dahulu VOC dibawa oleh Belanda datang ke tanah Jawa. Kini, perusahan seperti Freeport, akan menoleh ke negara induknya – Amerika – jika mengalami gangguan di negara tempatnya beroperasi. Mutatis mutandis, keduanya sedang menjalankan modus operasi yang sama. Maka argumen kaum neoliberal yang meyakini bekerjanya hukum pasar tanpa campur tangan negara, mungkin sudah harus dilihat sebagai gosip akademik belaka.
Tanpa kita sadari, membiarkan negara sebagai arena perluasaan korporasi raksasa sebenarnya membawa implikasi bagi perluasan wilayah kedaulatan negara-negara asal korporasi tersebut. Konsep tentang kedaulatan (sovereignty) masa kini harus melihat dimensi ekonomi-politik ini. Selama ini kedaulatan cenderung hanya dilihat sebagai isu politik dan keamanan. Padahal, ruang kedaulatan terus mengalami transaksi dari pemilik modal yaitu korporasi dan pemegang sah otoritas kekuasaan Kini, ruang kedualatan negara-negara maju terus diperluas bersamaan dengan tumbuhnya perusahaan dan korporasi raksasa yang memiliki hubungan dengan mereka. Intrusi rejim pasar di level domestik, di sisi negara pasca-kolonial, justru semakin menciptakan kelas sosial baru yang kehadirannya menuntut peran negara untuk memberi perlindungan bagi akumulasi modal.
Konsolidasi pasar dan negara seperti yang dilakukan oleh rejim neoliberal tidak banyak menyebarkan pendapatan ke berbagai belahan dunia. Kenyataannya, konsentrasi modal berlangsung hanya di negara-negara yang memiliki hubungan langsung dengan berbagai perusahaan raksasa. Salah satu kecenderungan praktik neolibralisme dalam mengkonsolidasi negara dan pasar adalah munculnya institutusi yang bisa menjembatani bekerjanya pasar dan negara. Hadirnya institusi-institusi ini pada satu sisi memberi persuasi kepada masyarakat internasional tentang globalisasi dunia dimana semua aktor memiliki posisi, peluang dan kesempatan yang sama untuk terlibat di dalamnya. Argumen ini memang khas kalangan hiperglobalis yang melihat bahwa globalisasi dibayangkan akan memberi “berkah” bagi semua negara dan semua negara berposisi setara dalam konstelasi ekonomi-politik dunia.
Susan Strange, seorang neo-strukturalis dalam studi hubungan internasional mengajukan konsep structural power saat mengkaji hubungan negara dan pasar pada era globalisasi. Dalam karyanya yang berpengaruh, State and Market (1988), Strange melihat pola kekuasaan pada masa rejim neoliberal adalah kekuasaan yang tidak langsung, yakni kekuasaan yang didasarkan pada pembagian kerja antar institusi-institusi internasional yang ada, khususnya institusi ekonomi internasional. Kekuasaan struktural menunjukkan pada proyek pendisiplinan yang berjangka panjang, sebuah upaya sistematis untuk menciptakan ketergantungan di masa-masa yang akan datang (future dependency). Karena sifatnya yang struktural dan skope-nya yang mendunia, integrasi dengan struktur-struktur ekonomi dan politik dunia selalu diandaikan sebagai jalan rasional, namun ada banyak pertaruhan bagi negara-negara pinggiran yang ekonominya sangat lemah untuk mendapatkan berbagai keuntungan.
Sudah saatnya jaringan masyarat sipil dari lintas bangsa menyeru tentang perlunya “moratorium” bagi mekanisme yang berlangsung dalam globalisasi saat ini. Keadaan dunia saat ini semakin rapuh dimana bangsa-bangsa Selatan yang berisi 80 persen populasi dunia harus memperebutkan 20 persen pendapatan dunia. Sebaliknya, 20 persen penduduk dunia di belahan Utara bisa berfoya-foya menikmati 80 persen pendapatan dunia yang mengalir dari bumi Selatan. Dunia korporasi dan para politisi di berbagai belahan dunia harus mulai sadar dengan peran yang bisa mereka lakukan untuk memberi ruang penyelamatan bagi masyarakat luas sebelum titik balik globalisasi itu datang. Globalisasi harus merupakan proses bersama dan bukan sebuah proyek segelintir elite ekonomi dan politik dunia. Barangkali benar peradaban dunia selalu dibuat oleh mereka yang memiliki pendidikan dan memiliki modal yang besar. Tetapi, sejarah selalu dibikin oleh orang-orang yang lapar dan tak memiliki apa-apa….
Adde M Wirasenjaya
Pengajar pada Konsentrasi Globalisasi dan Pembangunan
Jurusan HI Univ. Muhammadiyah Yogyakarta

About Ade Wirasenjaya 6 Articles
Staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UMY. Berminat pada kajian-kajian globalisasi, studi pembangunan serta politik lingkungan global. Menulis esai, review dan opini di berbagai media massa.
Contact: Website

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*