Mohon untuk tidak mengupload file materi perkuliahan yang berbentuk pdf, ppt, doc, xls ke Blog Staff UMY -- Silahkan upload file-file tersebut ke E-Learning NEOLIB DI INDONESIA – ADE M WIRASENJAYA

NEOLIB DI INDONESIA

COPY RIGHT @adde m wirasenjaya
PERAYAAN DAN PENAKLUKAN: PENGARUSUTAMAAN NEOLIBERAL DI NEGARA PASCA-KOLONIAL
MAKALAH UNTUK KONVENSI NASIONAL II ASOSIASI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL II, BANDUNG 11-13 JULI 2011

Oleh Adde M Wirasenjaya Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta adewirasenjaya@umy.ac.id
Bandung, 11-13 Juli 2011

 

 
Savoy Homan Hotel, Bandung, 11-13 JULI 2011

ABSTRAK

Neoliberalisme mempertemukan kembali institusi negara dan pasar dalam mengerjakan proyek kapitalisme yang belum selesai karena diinterupsi oleh perlawanan negara-negara bekas jajahan. Boleh jadi upaya ini tidak berakhir dengan hadirnya kembali kolonialisme. Neoliberalisme justru mengajak negara-negara pasca-kolonial untuk merayakan pasar bebas dan demokrasi sambil mencegah negara pasca-kolonial dari imajinasi sebagai identitas perlawanan atas kolonialisme. Dengan membentuk prinsip, ide serta sistem keyakinan sebagai norma tatanan dunia baru, persebaran itu berlangsung secara sistematis melalui berbagai penanganan krisis ekonomi, baik berupa pemberian pinjaman dan bantuan luar negeri maupun dengan mengkonstruksi sejumlah norma baru sistem pemerintahan yang paralel dengan bekerjanya mekanisme pasar.. Memanfaatkan pandangan kaum konstruktivis, paper ini mencoba menjelaskan relasi negara pasca-kolonial terhadap rezim neoliberal dan implikasi yang lahir dari relasi tersebut terhadap pembentukkan sejumlah norma baru dalam konstelasi ekonomi-politik internasional.
Kata kunci: neoliberalisme, pasca-kolonialisme, mainstreaming, konstruktivis.

P r o l o g

Dekade 1980an hingga 1990an dunia dilanda perubahan dramatis dalam hal proses keterbukaan dan kebebasan politik. Seperti terekam dalam laporan berjudul “Deepening Democracy in Fragmented World”, Human Development Report yang dilansir UNDP tahun 2002, tidak kurang dari 81 negara di dunia melakukan proses signifikan menuju demokrasi. UNDP mencatat sampai tahun 2002 terdapat 140 negara dari 200 negara di dunia telah memilih sistem multi partai dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Euforia demokrasi yang melanda kawasan Eropa Timur dan sejumlah negara di Asia tak lepas dari berakhirnya era Perang Dingin yang dengan cepat menyebarkan proses difusi demokrasi ke berbagai negara yang semula dimpimpin oleh rezim otoriter. Laporan UNDP tersebut lebih jauh mereview sejumlah pencapaian politik di negara-negara demokratis baru, khususnya di kawasan Asia dan Amerika Latin. Laporan tersebut juga memberi catatan krusial tentang fase demokrasi yang amat penting dan kompleks setelah transisi dilakukan, yaitu fase pendalaman demokrasi (deepening of democracy). Menurut UNDP, pendalaman demokrasi lebih diarahkan pada soal bagaimana institusi-institusi politik dan ekonomi yang telah mengalami reformasi mendasar mampu memberi makna bagi kehidupan sosial dan ekonomi pada masyarakat suatu negara. Mengutip laporan tersebut, demokrasi harus diperluas dan diperdalam supaya bisa memberi jaminan sosial-ekonomi pada masyarakat domestik.
Review yang dilakukan UNDP memberi gambaran tentang lanskap yang kontras, juga ironis: bahwa di tengah selebrasi politik negara-negara demokrasi baru, mereka harus dihadapkan pada realitas pasar global yang langsung atau tidak, akan menentukan arah dan bentuk pendalaman demokrasi yang dijalankan. Faktanya, di tengah perayaan dunia atas demokrasi elektoral, muncul konflik-konflik domestik, ketegangan antar aktor politik, juga munculnya persoalan keamanan domestik seperti yang menimpa negara-negara di kawasan Amerika Latin, Afrika dan Asia. Proses pendalaman demokrasi pada akhirnya harus berlangsung dalam era pendalaman institusi neoliberal karena negara-negara demokrasi baru tersebut membutuhkan dukungan modal dan tata kelola pemerintahan dari lembaga-lembaga ekstra-negara seperti IMF dan Bank Dunia.

Krisis dan Pendalaman Negara Pasca-Kolonial terhadap Rejim Neoliberal
Negara-negara berkembang dihadapkan pada dua agenda besar. Pertama, bagaimana integrasi dengan pasar global dilakukan dalam posisi negara yang rapuh dan lemah. Kedua, bagaimana proses demokrasi pada level domestik dilakukan pasca keluar dari rezim otoriter. Menghadapi dua agenda tersebut, tidak semua negara bisa melakukannya dengan sukses. Kegagalan menjaga koherensi antara integrasi dengan institusi neoliberal dengan menjalankan agenda pendalaman demokrasi merupakan fakta yang cukup banyak ditemukan. Beberapa negara seperti Zimbabwe dan Pakistan harus mengalami titik balik ke rejim otoriter. Sementara negara lain seperti Irak, Afghanistan dan Somalia harus terpuruk ke dalam konflik antar golongan dimana negara hanya menjadi institusi yang membiakkan kekerasan domestik.

Negara sebagai Komprador: Pengalaman Amerika Latin
Pengalaman sejumlah negara berkembang menunjukkan bahwa arena pasar yang terbuka dan bebas yang harus mereka masuki melahirkan beban ganda (double burden). Beban ekonomi dan politik tampil bersamaan. Pada dekade 1980-an, krisis berlangsung di Meksiko, sebuah negara yang terhitung makmur di kawasan itu. Krisis tersebut kemudian menyebar ke berbagai negara Amerika Latin lainnya. Periode ini disebut-sebut sebagai dekade yang hilang (lost decade) dalam pembangunan di Amerika Latin. Krisis Meksiko diawali oleh tindakan negeri tersebut mengemplang utang luar negerinya pada tahun 1982 dan diikuti oleh krisis politik yang berkepanjangan di seantero kawasan. Pada tahun 1995 pergolakan politik berlangsung yang membuat terbunuhnya Luis Donaldo Colosio, seorang kandidat presiden yang cukup popular. Disusul kemudian pemberontakkan suku Chiapa yang merasa mengalami marjinalisasi sehingga lahirlah kerusuhan sosial di negara tersebut dan menjalarkan semacam block mentality di kawasan itu. Block mentality tersebut tercermin dari perasaan tidak aman di kalangan investor yang sebelumnya menjadikan Meksiko sebagai negara yang cukup sukses sebagai emerging market negara berkembang. Mentalitas seperti itu kemudian diikuti oleh tindakan penarikan modal besar-besaran (redemption) yang akhirnya membuat lembaga reksadana di Meksiko mengupayakan pencairan untuk membayar para investor, antara lain dengan menjual portofolio di negara-negara lain.
Seperti sudah diduga, lahirnya krisis di negara berkembang mengharuskan negara tersebut untuk meminta bantuan dari IMF maupun negara-negara maju. Dalam kasus Meksiko, paket bantuan segera dirancang oleh Presiden Amerika Serikat waktu itu, Bill Clinton. Amerika menjanjikan skema bantuan sebesar 40 miliar dolar AS untuk menyelamatkan Meksiko. Dalam perkembangan berikutnya, bantuan tersebut tidak jadi dicairkan karena terbentur dengan persetujuan Kongres mengingat jumlahnya yang terlalu besar. Amerika mencari skema lain yang dikenal sebagai dana Exchange Stabilization Fund (ESF) dan menggandeng IMF serta Bank for International Settlements (BIS) untuk. Satu negara adidaya dan dua lembaga keuangan itu kemudian membagi bantuan dengan komposisi 20 milyar dolar dari AS, 10 milyar dolar (BIS) dan 17,8 milyar dolar (IMF). Pengalaman serupa berlangsung di dua negara besar Amerika Latin lainnya, Argentina dan Brazil yang harus menjalani program economy recovery dari lembaga keuangan internasional seperti IMF.
Pengalaman buruk berhadapan dengan rejim neoliberal seperti IMF telah mendorong resistensi politik kawasan itu. Hadirnya kembali gagasan neo-sosialisme yang diusung oleh sejumlah pemimpin di Amerika Latin seperti Evo Morales di Bolivia, Luiz da Silva (Lula) di Brazil dan Hugo Chavez di Venezuela merupakan upaya untuk keluar dari institusi neoliberal, meskipun sebagian pengamat mengatakan bahwa momentum “kegagalan menjadi neoliberal” telah mendorong resurgensi politik Amerika Latin untuk kembali dipimpin oleh rejim populis-otoriter (the resurgence of authoritarian populism). Sebuah polling yang dilakukan oleh lembaga survey Latinobarometro menunjukkan bahwa 54 persen dari masyarakat Amerika Latin tidak meyakini proses demokrasi bisa berlangsung tanpa kehadiran partai politik namun hanya 19 persen yang masih percaya pada partai politik.
Transformasi ke jalur neo-sosialisme yang dibarengi kampanye untuk keluar dari jalur neoliberalisme di Amerika Latin telah menjadi semacam political tagline dari para pemimpin Amerika Latin. Bahwa kemudian banyak di antara pengusung gagasan “escape from neoliberalism” yang akhirnya terpilih menjadi pemimpin politik sebagai presiden, hal ini hanya mengindikasikan bahwa secara sosial, politik dan ekonomi, publik di kawasan tersebut memang merasa tidak nyaman dengan kehidupan yang mereka hadapi. Secara intertekstual, kemenangan ideologi neo-sosialisme Amerika Latin tidak bisa dibaca sebagai sebuah upaya serius dan konseptual dari para (kandidat) pemimpin Amerika Latin untuk benar-benar mewujudkan pasar yang ramah, kesejahteraan sosial dan keadilan ekonomi – untuk menyebut beberapa gagasan inti yang diusung dalam kampanye neo-sosialisme. Untuk sebagian besar, pilihan pada jalur neososialisme juga merupakan upaya delegitimasi ideologis atas cengkraman rejim neoliberal, yang memang memiliki sejarah panjang dalam hikayat state making dan juga gerakan sosial di kawasan itu. Keterbelakangan Amerika Latin, seperti sering diartikulasikan oleh intelektual di jalur dependensia, sebagian besar disebabkan oleh relasi asimetris antara negara-negara pinggiran dan negara-negara pusat.
Konstruksi tentang “kapitalisme yang jahat” telah digunakan oleh sebagian pemimpin Amerika Latin untuk membentuk legitimasi dan hampir berlangsung sepanjang sejarah kepemimpinan kawasan ini. Namun demikian, konstruksi tersebut selalu gagal membentuk identitas yang solid untuk benar-benar mengeluarkan Amerika Latin ke luar dari kepungan rezim neoliberal. Pada level domestik, pemimpin Amerika Latin tidak sepenuhnya mencerminkan identitas kalangan masyarakat urban yang telah mengalami modernisasi dan melihat sisi cerah kapitalisme. Bagi pandangan konstruktivis, ini berarti masih ada aktor yang memiliki identitas berbeda di kawasan tersebut. Identitas yang berbeda itu tercermin dalam perbedaan persepsional atas peran negara-negara maupun istitusi internasional. Pada level kawasan, nilai-nilai neo-sosialisme tidak cukup punya agen untuk disosialisasikan. Sementara pada saat yang sama, agen-agen neoliberal muncul di ranah civil society dan kelas menengah. Bagi kaum konstruktivis, kemenangan gagasan neoliberal di Amerika Latin sangat ditentukan oleh banyaknya agen yang memegang peran untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai neoliberal yang tumbuh dalam basis-basis produksi kapitalis di kawasan itu.
Di masa-masa awal kekuasaannya setelah terpilih sebagai Presiden Venezuela tahun 2005, Hugo Chavez menyerukan tentang “combating savage neoliberalism” dan mencoba menghidupkan apa yang disebutnya “Jalan Ketiga khas Venezuela” sebagai upaya menumbuhkan kapitalisme yang lebih humanis. Meski demikian, gagasan untuk melakukan resistensi atas rezim neoliberal yang dilakukan Chavez nampak berjalan tidak mudah. Bagi para pendukungnya, program nasionalisasi aset yang dilakukan Chavez atas sumber-sumber alam – khususnya minyak – dianggap sebagai politik Robinhood. Sementara bagi para pengkritiknya, Chavez program nasionalisasi sebagai bagian dari upaya melawan hegemoni neoliberal Amerika dianggap telah membawa kehancuran ekonomi. Sampai akhir tahun 2009, inflasi di Venezuela masih berada di angka 29%.
Intrusi IMF dan Bank Dunia terhadap negara-negara di kawasan Amerika Latin yang mengalami pendalaman telah mempengaruhi relasi antara negara (state), pasar (market) dan masyarakat (society). Dalam bukunya, Globalization and The Post-Colonial World, Ankie Hoogvelt memberi gambaran tentang disharmoni yang terjadi antara negara, pasar dan masyarakat:
“….for the rulling class, all that matters is to create the most profitable conditions to attract mobile international capital; cheap labour, lax and flexible working conditions, the elimination of envomental controls, little or no taxation, and the abandonment of public obligation and provisions to the poor majorities. Some 20 per cent of the population are enriched by this deepening integration into global charmed circle; the rest are thrown on the scrapheap…..”
Periode tahun 80 hingga 90-an bagi Amerika Latin adalah periode structural adjustment, sebuah kebijakan yang dirancang oleh Bank Dunia terhadap negara-negara berkembang dalam rangka mengintegrasikan negara ke dalam sistem sistem ekonomi internasional dan pada saat yang sama membawa struktur global memasuki negara. Tak heran jika periode ini disebut sebagai dekade yang hilang bagi pembangunan (lost development decade) Amerika Latin atau mengutip sebuah judul buku klasik dari teori pembangunan, ini adalah the cruel choice – sebuah pilihan yang menyakitkan.
Kebijakan neoliberal yang diadopsi negara-negara di Amerika Latin bermula diterapkan di Chili tahun 1973 dan kemudian diikuti secara luas oleh negara-negara lain tahun 1980-an dan menjadi main stream kebijakan ekonomi-politik pada 1990-an. Pada umumnya, pilihan terhadap kebijakan neoliberal didasarkan pada upaya kawasan itu untuk membuka pasar internasional serta mendorong proses demokratisasi. Pembukaan pasar sangat penting dan untuk sebagian besar, didorong oleh rasa percaya diri yang amat tinggi karena memiliki sumber alam yang sangat kaya, seperti dari sektor migas, pertanian dan juga juga sektor kehutanan. Sementara pada aspek politik, demokratisasi diperlukan karena sebagian besar kawasan Amerika Latin banyak melahirkan rejim komprador dimana militer dan kudeta sering berlangsung. Hubungan dengan bangsa-bangsa Eropa pada fase kapitalisme abad 18 dan 19 yang menempatkan Amerika Latin menjadi pemasok penting sumber alam yang dibutuhkan bagi proses industri di negeri kapitalis utama Eropa seperti Inggris, Jerman, Perancis dan kemudian – pada abad ke-19 — menyusul ke Amerika Serikat. Meskipun demikian, seperti banyak diartikulasikan oleh kalangan dependensia, hubungan dengan dunia kapitalis tersebut telah membuat eksploitasi yang panjang di kawasan Amerika Latin yang menjadikan negeri itu sebagai kawasan pherypery yang hanya mengalirkan modal ke negara-negara pusat. Integrasi kawasan Amerika Latin terhadap struktur kapitalis telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Ketika adopsi kebijakan neoliberal berlangsung dari dekade 80 hingga 90-an, kawasan tersebut semakin mengalami pendalaman integrasi dengan struktur eksternal yang berubah secara struktural tetapi menjalankan pola-pola produksi yang sama dengan fase sebelumnya.
Secara umum, terdapat lima lima aspek penting penerapan kebijakan neoliberal dalam pembangunan di negara-negara Amerika Latin. Pertama, penurunan secara dramatis hambatan-hambatan, baik tarif maupun non-tarif dalam impor. Kedua, pembukaan pasar yang seluas-luasnya bagi masuknya investor termasuk dalam hal eksplorasi sumber daya alam. Ketiga, adanya ruang permisif bagi kehadiran perusahaan multinasional. Keempat, perluasan kebijakan privatisasi terutama pada sektor-sektor ekonomi yang sebelumnya dikuasai negara. Dan kelima, menghilangkan sejumlah hambatan atau restriksi dalam perundang-undangan perburuhan. Semua paket kebijakan tersebut berlangsung dalam skema besar dan khas dari desain Bank Dunia dalam kebijakan Strucural Adjustment Programe (SAP). Para pengamat melihat bahwa pilihan pada kebijakan neoliberal sebenarnya merupakan bentuk resurgensi ekonomi-politik yang mengulang kembali pola-pola relasi masa silam dan struktur ekternal yang semakin solid, koheren dan hegemonik.
Posisi dan peran negara dalam struktur rejim neoliberal di Amerika Latin telah mengubah watak negara di kawasan itu menjadi apa yang oleh Francis Fukuyama disebut negara lemah (weak state). Negara lemah, menurut Fukuyama, adalah negara yang tidak bisa menjamin bekerjanya fungsi dasar negara yakni menjaga ketertiban, menciptakan rasa aman dan kebebasan serta mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Potret hadirnya negara lemah di Amerika Latin tercermin dari kekerasan politik yang masih berlangsung di kawasan ini. Di Meksiko dan Kolumbia, negara harus bersaing dengan kelompok-kelompok gangster maupun kartel obat bius. Bahkan dalam banyak kasus, jejaring kartel obat bius di negara seperti Kolumbia telah “membantu” pemerintah negara tersebut ketika mengalami krisis ekonomi meskipun akibatnya adalah terciptanya political-criminal nexus yang pada dasarnya membentuk modus simbiosa mutualisme antara pemerintah dan para kartel. Dalam jangka pendek, kehadiran kartel ini bisa menolong pertumbuhan ekonomi. Namun dalam jangka panjang, ia akan menjadi kekuatan kriminal, merongrong kapasitas negara dan mendistorsi berbagai kebijakan ekonomi-politik yang ada.

Regulatory State: Pengalaman Negara-negara Asia
Panorama integrasi dengan rezim neoliberal menampilkan aksentuasi yang berbeda namun dengan dampak yang kurang lebih sama di kawasan Asia. Formasi negara di kawasan Asia sering disebut para pengkaji hubungan internasional dan studi pembangunan sebagai developmental state atau state capitalism dimana negara adalah pelaku pasar yang cirinya antara lain kompromi terhadap pasar dan menggelar kebijakan pintu terbuka untuk mendorong investasi dan perdagangan internasional serta berorientasi pada ekspor. Untuk beberapa lama, kinerja pembangunan dan cara produksi kapitalisme negara-negara Asia menampilkan dirinya sebagai model pembangunan bagi negara-negara berkembang.
Konteks krisis dan turbulensi atas hubungan negara dan pasar di kawasan Asia berlangsung dalam ruang dan struktur neoliberal yang hingga sekarang tengah membangun imperiumnya di kawasan ini. Kanishka Jayasurya, seorang kritikus neoliberalisme mengemukakan bahwa pergulatan negara dan pasar di Asia Timur ada dalam dua momentum besar. Pertama, momentum keajaiban ekonomi (economic miracle) yang melanda kawasan ini yang memberi pengaruh kuat bagi terciptanya penguatan peran negara dalam mengontrol pasar. Kedua, momentum kebijakan neoliberalisme internasional yang dipompakkan Amerika Serikat pasca tragedi 11 September yang membuat Amerika memiliki kepentingan strategis di Asia Timur. Momentum kedua inilah yang dianggap Jayasurya memiliki pengaruh cukup signifikan karena kemudian berlanjut dengan apa yang ia sebut sebagai jalan bagi terbentuknya pemerintahan yang serba diatur (regulatory governance) di negara-negara Asia Timur oleh rejim neoliberalisme di bawah kendali Amerika Serikat. Menurut Jayasurya:
“…..the relationship between the USA and East Asia be analyzed in term of new space of regulatory governance that domesticates US influences within the very structure of East Asia states.
Pemerintahan yang hanya menjalankan fungsi pengaturan (regulatory governance) adalah pemerintah yang secara sistematis ditundukkan oleh kekuatan pasar global dan pada saat yang sama kehilangan pendalamannya pada level domestik. Negara kemudian berubah statusnya menjadi instrumen perluasan gagasan dan norma rezim di luar dirinya.
Salah satu karakteristik penting dari hegemoni Amerika Serikat pasca Perang Dingin adalah kontrol terhadap negara-negara berkembang dilakukan secara proyektif dan tidak langsung. Dengan jalan mengontrol lembaga-lembaga keuangan internasional yang mendesain kebijakan pemulihan ekonomi pasca krisis di sejumlah kawasan, Amerika Serikat mengendalikan negara, menuntunnya untuk melakukan pendalaman integrasi dengan rejim ekonomi dan perdagangan global. Sejak itu pula pengaruh institusi neoliberal terhadap kedaulatan negara (state sovereignty) mengalami perluasan dan pendalaman. Pertanyaan penting yang pantas diajukan adalah, bisakah pendalaman demokrasi berlangsung pada saat pendalaman terhadap modal global berlangsung?
Integrasi negara atas pasar di kawasan Asia bukanlah sesuatu yang a-historis, dan untuk sebagian besar, berlangsung dalam relasi asimetris dimana posisi rejim pasar mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Pada fase kolonialisme misalnya, institusi pasar merupakan representasi dari negara jajahan dalam bentuk korporasi-korporasi dari negara-negara Eropa. Pada fase pasca-kolonial, institusi pasar melembaga, menggurita dan menciptakan jejaring (linkage) dalam formasi struktur-struktur ekonomi internasional yang sebagian besar menyokong proses supervisi dan pendanaan bagi pembangunan negara-negara pasca-kolonial.
Desakan dari institusi-institusi ekonomi internasional untuk mendundukkan (subjection) memberi jalan yang leluasa bagi mobilisasi modal di kawasan Asia dan juga negara-negara pasca-kolonial lain di dunia. Dalam banyak hal, kondisi ini membuat perdebatan tentang Wesphalian-state menjadi sesuatu yang anakronis untuk melihat format negara di Asia. Negara-negara utama di kawasan ini tidak memiliki momentum historis untuk membentuk dirinya menjadi negara Wesphalian – sebuah gagasan negara-negara Eropa yang mengkonstruksi negara sebagai entitas otonom, berdaulat dan merdeka. Sejak berabad-abad, kapasitas negara di kawasan Asia selalu berada dalam kontrol pemilik modal. Seperti dikemukakan Jayasurya:
… the emergence of this regulatory governace signals a dramatic change from Wesphalian models of sovereignty. What we have instead, is the embryonic form of set of transnational state structure that cut across traditionally defined national boundaries thereby creating, effect, a new post-Wesphalian state and international order.
Jejak panjang kapitalisme di kawasan Asia praktis telah menutup ruang historis bagi negara-negara Asia untuk membentuk dirinya menjadi negara yang benar-benar memiliki kedaulatan dan merdeka. Setelah merdeka, negara-negara pasca-kolonial disibukkan dengan proses state-making yang mengundang kekuatan modal luar untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi pasca-perang. Setelah itu disusul dengan proses state-developing yang menempatkan negara sebagai mitra kekuatan modal global. Munculnya developmental state atau negara pembangunan di kawasan Asia berlangsung pada tahap ini. Satu hal yang sering mengemuka dalam fase ini adalah mulai munculnya lembaga-lembaga konsultasi pembangunan, rejim pemberi bantuan dan juga struktur eksternal yang mengontrol negara.
Era neoliberalisme memberi gambaran tentang hadirnya sofistikasi rejim internasional dalam menguasai sumber ekstraksi maupun ekspansi industri baru. Sebagaimana keyakinan paper ini, neoliberalisme adalah gagasan yang mencoba melibatkan kembali peran negara dalam arsitektur ekonomi. Maka bagi para pengkritiknya, neoliberalisme telah memadukan proses politik dan ekonomi secara bersamaan. Singkatnya, neoliberal muncul ketika kapitalisme lanjut telah mengalami konsolidasi secara struktural, dan kekuatan politik berlangsung dalam struktur unilateral. Neoliberalimse, terlalu ekonomistik untuk diteropong secara politik namun juga terlalu politis untuk hanya dilihat sebagai gejala ekonomi.
Ekspansi pasar internasional diperkuat oleh sebuah proyek sekuritasasi pasar Asia dimana Amerika Serikat sebagai pengendali struktur neoliberal internasional atau proses militarisasi ekonomi global (mililarization of the global economy) yang ditujukan sebagai bentuk: …policies geared to toward controlling globalization, unlike in the more laissez faire periode of the last decade of the 20th century when the market alone was meant to drive it, have a much stronger place in US policy under the Bush Administration.
Bekerjanya institusi neoliberal di negara-negara Asia tak lepas dari bekerjanya dua pilar ekonomi dan politik (militer). Kedua pilar tersebut pada akhirnya saling berkelindan satu sama lain, menciptakan neoliberalism main-streaming. Setelah krisis moneter yang dimulai di Thailand 1997, posisi developmental state di kawasan ini perlahan-lahan mulai pudar. Hambatan-hambatan domestik yang menghalangi bekerjanya mekanisme pasar secara sistematis mulai dikurangi. Pada saat yang sama, upaya ini diikuti oleh konstruksi negara agar bisa memainkan peran sebagai instrumen bagi akumulasi kapital. Henry Wai-chung Yeung, seorang pengkaji studi pembangunan dari National University of Singapura, menulis: “…neoliberalism, in its essence, is to blame everything that does not work on the works of the state and to credit everything that works to the ‘free’ market”.
Proyek-proyek demokratisasi rezim neoliberal mulai gencar dilakukan, dalam rangka membentuk pemerintahan yang efektif dan menciptakan masyarakat sipil yang kompatibel dengan upaya-upaya negara melakukan kebijakan neoliberal atau menyebarkan gagasan dan nilai-nilai demokrasi kosmopolitan. Perubahan cara pandang itu bisa dilihat dari gagasan-gagasan yng muncul dalam berbagai proyek lembaga multilateral. Isu-isu “good governance” mulai menjadi proyek garapan sejumlah lembaga internasional pasca krisis ekonomi tahun 1997. Lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, United Nations Development Programme (UNDP), dan Asian Development Bank mulai menyebarkan nilai-nilai dan gagasan di seputar “good governance” ini. Tabel berikut menyajikan perbandingan tentang konstruksi sejumlah lembaga multilateral tentang pemerintahan yang baik.
Tabel 4. Gagasan Bank Dunia tentang Pemerintahan (Governance)
Definsi pemerintahan Cara penggunaan kekuasaan dalam mengelola sumber-sumber ekonomi dan sosial bagi pembangunan
Tujuan Pembangunan
Pemerintahan yang baik/indicator manajemen pembangunan (1) Akuntabilitas
(2) Kerangka Legal bagi Pembangunan
(3) Informasi dan Transparansi

Manajemen Pemerintahan yang Buruk (1) Institusi yang lemah
(2) Tiadanya framework legal yang akurat (adequate)
(3) Sistem audit dan financial yang lemah
(4) Intervensi yang sewenang-wenang
(5) Ketidakpastian dalam framework kebijakan
(6) Pembuatan keputusan yang tertutup

Pemerintahan yang Buruk (1) Gagal membangun pemisahan antara masalah publik dan masalah privat dan cenderung menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan privat
(2) Gagal untuk mengembangkan framework yang bisa diprediksi dari aspek hukum dan pemerintahan dan sewenang-wenang dalam aplikasi penegakkan hukum dan aturan
(3) Memerintah secara eksesif,regulasi, pemberian lisensi, dan lain-lain yag menghalangi bekerjanya pasar hingga mendorong rent-seeking
(4) Prioritas pembangunan inkonsisten yang berakibat pada mis-lokasi penggunaan sumber daya
(5) Pembuatan keputusan yang tertutup
Sumber: Bank Dunia, Governance and Development, 1992, dalam Ishihara, “Economic Governance and Economic Performance in Developing Countries”.

Tabel 5. Gagasan Asian Development Bank (ADB) tentang Pemerintahan (Governance)
Definisi Pemerintahan Sebuah cara dimana kekuasaan digunakan dalam manajemen mengelola sumber ekonomi dan sosial pada level pemerintahan lokal dalam rangka pembangunan (jalan dimana para pemegang kekuasaan menggunakan kekuasaannya)
Ekonomi Pemerintahan Mengukur Manajemen Pembangunan
Empat pilar Pemerintahan (1) Akuntabilitas
(2) Transparansi
(3) Ketertebakan (Predictability)
(4) Partisipasi
Enam Area Kunci Pemerintahan (1) Partisipasi, Civil Society, Modal Sosial
(2) Hukum dan Pembangunan
(3) Corporate Governance dan Hubungan yang jelas sektor public dan swasta
(4) Memusatkan fungsi pemerintahan pada level nasional
(5) Desentralisasi
Prinsip Universalitas Pemerintahan yang Baik Setiap negara memiliki jalan tempuh yang berbeda untuk mengembangkan pemerintahan yang baik. Sangat ditentukan oleh factor budaya, geografi, politik dan tradisi administrative. Namun Empat pilar utama pemerintahan merupakan sesuatu yang universal.
Sumber: Asian Development Bank, Annual Report 1998, dalam Ichihara, ibid.

Tabel 6. Gagasan UNDP tentang Pemerintahan (Governance)

Tujuan Pemerintahan Pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable human development)
Definsi pemerintahan Tindakan politik, ekonomi dan otoritas administatif dalam mengelola urusan bangsa di semua level
Pemerintahan Pemerintahan terdiri dari mekanisme, proses dan intitusi yang kompleks yang melaluinya setiap warga negara maupun kelompok menyalurkan kepentingan mereka. Pemerintahan juga memediasi perbedaan dan memperjuangkan hak-hak dan kewajiban
Pelaku Pemerintahan Pemerintahan mencakup negara yang perannya melampaui sektor swasta dan masyarakat sipil.
Karakteristik Pemerintahan yang baik (1) Partisipasi
(2) Penegakkan hukum
(3) Transparansi
(4) Responsif
(5) Orientasi pada consensus
(6) Keseteraan
(7) Efektif dan Efisien
(8) Akuntabel
(9) Visi strategis
Ekonomi Pemerintahan Proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi aktivitas ekonomi bangsa dan membangun hubungan dengan kekuatan ekonomi lainnya.
Sumber: UNDP “Governance for Sustainable Human Development” (1997)
seperti dikutip Ichihara, ibid.

Institusi Neoliberal sebagai Steering
Alexander Wendt melihat problem tatanan dunia dari kehadiran steering yang memproduksi norma dan mengendalikan arah politik internasional. Wendt menolak gagasan pemikir penting neoliberal Friedrich Hayek bahwa struktur sosial lahir secara spontan dan alamiah. Bagi Wendt, pandangan semacam itu cenderung menempatkan struktur seolah-olah lahir mendahului agen, seolah-olah determinisme mendahului voluntarisme sehingga tidak melihat bahwa agen terbentuk dalam logika yang memiliki tujuan tertentu. Padahal bagi Wendt dan kaum konstruktivis lainnya, identitas terbentuk karena lingkungan tertentu, Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas tersebut kemudian mempengaruhi kepentingan aktor internasional. Selanjutnya aktor bergerak dan bertindak di atas kepentingan yang membawa identitas tertentu. Akhirnya, identitas juga akan mempengaruhi struktur sosial, termasuk struktur internasional.
Melakukan pembacaan politik internasional sebagai sistem sosial, kaum konstruktivis percaya bahwa aktor-aktor dalam politik internasional bertindak – entah dalam rangka konflik maupun membangun kooperasi – sangat dipengaruhi oleh identitas. Interaksi antar identitas itulah yang membentuk sistem internasional, entah itu dalam sistem ekonomi, politik dan perdagangan. Idealnya, hubungan internasional didasarkan pada semangat emansipasi untuk saling memahami identitas dan membentuk norma bersama. Namun faktanya, identitas aktor yang terlibat dalam agen dan struktur adalah kalangan yang bisa memproduksi norma dan mengkonstruksi identitas di luar dirinya. Dari sisni kemudian Wendt melihat ada semacam steering dalam sistem global.
Steering dipahami sebagai “komite” yang menjadi penyelenggara politik dunia. Steering ini kemudian mengaransemen sejumlah gagasan melalui keterlibatan dan pengendalian dalam sistem yang mereka masuki dan ciptakan. Tulis Wendt, “…if steering the international system presupposes a driver, then perhaps the first problem..” Dengan melihat politik internasional banyak dikonstruksi oleh steering, kita bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa yang mengendalikan dunia dan akan kemana dunia dibawa oleh steering tersebut?
Dalam konteks pertumbuhan, konsolidasi dan persebaran gagasan neoliberal, pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh Wendt di atas menjadi sangat jelas. Aktor-aktor yang mengendalikan rezim neoliberal adalah negara-negara pemilik modal, institusi ekonomi yang mereka konstruksi dan pengaruhi seperti Bank Dunia, IMF dan UNDP serta kehadiran korporasi multi-nasional. Konsensus Washington mencerminkan gagasan dari aktor-aktor yang memerankan dirinya sebagai steering dalam politik dunia. Dan negara-negara berkembang atau pasca-kolonial adalah “peserta” yang harus tunduk pada norma yang dirancang oleh steering. Maka berbagai konstruksi tentang identitas “negara yang baik” terus didedahkan oleh steering neoliberal melalui agen-agen mereka. Seperti dalam sebuah perayaan atau pesta, steering berhak mengidentifikasi (mengkonstruksi) siapa saja peserta yang berhak diundang ke dalam pesta yang mereka selenggarakan dalam pentas global. Neoliberalisme adalah pesta politik internasional hari ini.
Dilihat dari perspektif konstruktivis, konstruksi tentang “pemerintah yang baik” dari berbagai lembaga multilateral di atas sudah sangat jelas merupakan upaya pembentukkan identitas. Identitas tersebut tumbuh dalam sebagai upaya penciptaan order atau tatanan. Kalangan neoliberal ingin meletakkan negara penerima bantuan dalam berbagai persyaratan maupun item yang dibayangkan akan memberi konstribusi bagi makin terkonsolidasinya rezim neoliberal. Sejumlah persyaratan dan item-item kunci yang dirancang berbagai lembaga pemberi bantuan tersebut harus dilihat sebagai upaya rezim neoliberal melakukan sosialisasi nilai-nilai yang mereka kehendaki kepada aktor di luar dirinya. Konstruksi atas segala hal selalu terkait dengan negasi atas identitas yang dianggap tidak sesuai untuk hadir dalam tatanan yang diinginkan rezim neoliberal. Terdapat kualifikasi atas “pemerintahan yang buruk” misalnya yang menggambarkan bahwa identitas tentang negara, pada akhirnya amat ditentukan oleh dorongan kuasa dan juga trauma yang tak kunjung reda.***

Bibliografi

Asprinall, Edward, Assessing Democracy Assistance: Indonesia, laporan riset untuk FRIDE, Spanyol. Laporan ini dimuat pada FRIDE, Mei 2010.
Bank Dunia, “The State in a Changing World” World Development Report tahun 1997,
Christian Chua, “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s Conglomerates between Authoritarianism and Democracy” dalam Marco Bunted an Andreas Ufen, Democratization in Post-Suharto Indonesia, Routledge, London, 2009
Cox, Robert W, Production, Power and World Order, New York, 1987.
de Olivera, Miguel Darcy “Deepening Democracy in Latin America” dalam laporan UNDP, Deepening Democracy in Fragmented World. Dikutip dari Global Civil Society Network Paper, volume 29.2007
Halper, Stefan dan Jonathan Clarke, America Alone, Cambridge University Press, 2004.
Henry Wai-chung Yeung, State Intervention and Neoliberalism in the Globalizing World Economy: Lessons from Singapore’s Regionalization Programme, The Pacific Review, Vol. 13 No. 1/2000.
Hisrt, Paul dan Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos (terj), diterbitkan dalam versi Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Hoogvelt, Angkie, Globalization and The Postcolonial State: The New Political Economy of Development, ,Palgrave, 1997
Jayasurya, Kanishka “Beyond New Imperialism: State and Transnational Regulatory Governance in East Asia”, dalam Vedi R Hadiz (ed), Empire and Neoliberalism in Asia, Routledge, USA dan Kanada, 2006
Keohane, Robert O (ed.), Neorealism and Its Critics, Columbia University Press, 1986,
Kompas, 7 Juli 2008.
Lander, Edgardo dan Pablo Navarrete, The Economic Policy of The Latin American Left in Government: Venezuela, paper pada Havens Center, Rosa Luxemburg Stiftung dan Transnational Institute, Amsterdam, November 2007.
Mary Khaldor, Mary “Democracy and Globalization”, diterbitkan dalam Situs Global Civil Society Network, 29 Oktober 2007.
Onnis, Ziyya “States, Markets and the Limits of Equitable Growth: The Middle Eastern NICs in Comparative Perspective”. Dalam Atul Kohli, Chung-in-Moon and George Sorensen (eds.), States, Markets and Just Growth: Development in the 21st Century. New York and Tokyo: United Nations University Press, 2003.
Polanyi. Karl Transformasi Besar: Asal-usul, Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang (terj.), edisi Indonesia diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003
Strange, Susan State and Market, Pinter Publisher, London, 1988.
UNDP, “Deepening Democracy in Fragmented World”, Human Development Report 2002.
UNDP, Indonesia Democracy Index, Project Fact, November 2008
Wendt, Alexander “What Is International Relations For? Notes Toward a Postcritical View” dalam Richard Wyn Jones (ed) Critical Theory and World Politics, Lynne Rienner Publishing, London, 2001.
Wendt, Alexander Social Theory of International Politics, Cambridge University, 1999.
Word Development Report 1997, The State in A Changing World, Bank Dunia dan Oxford University Press, 1997.
Zehfuss, Maja, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality, Cambridge University Press, 2002.

About Ade Wirasenjaya 6 Articles
Staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UMY. Berminat pada kajian-kajian globalisasi, studi pembangunan serta politik lingkungan global. Menulis esai, review dan opini di berbagai media massa.
Contact: Website

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*