Mohon untuk tidak mengupload file materi perkuliahan yang berbentuk pdf, ppt, doc, xls ke Blog Staff UMY -- Silahkan upload file-file tersebut ke E-Learning Kompleks Industri Demokrasi – ADE M WIRASENJAYA

Kompleks Industri Demokrasi

 

KETIKA merefleksikan kejatuhan rejim-rejim otoriter di Eropa Timur pada tahun 1990-an, Ralf Dahrendorf menulis dengan sedikit sindiran: “Eropa Timur membutuhkan waktu 60 tahun untuk menumbuhkan kekuatan masyarakat sipil, butuh enam tahun untuk menciptakan ekonomi pasar, dan cuma butuh 6 bulan untuk membangun sitem demokrasi.” Setelah revolusi berlangsung di Eropa Timur, satu per satu rezim otoriter tumbang dan dunia memasuki musim semi demokrasi.
Untuk menjadi demokratis – seperti sindiran Dahrendorf – nyatanya hanya membutuhkan waktu yang amat singkat. Yang lebih penting adalah bagaimana kekuatan masyarakat sipil sebagai penopang utama demokrasi terbentuk. Dengan cara itu demokrasi tidak jatuh menjadi demokrasi proformatik yang tak memiliki akar sosial. Memilih pemimpin secara demokratis memang penting. Tetapi membangun masyarakat demokratis, rasanya jauh lebih penting.
Perbedaan mendasar dari sistem demokrasi dan yang nir-demokrasi adalah dari mana kekuasaan berakar. Pada sistem kerajaan dan otoriter kekuasaan berakar ke atas, sementara demokrasi membuat kekuasaan (seharusnya) berakar ke bawah. Dengan semangat vox poplui vox Dei — suara rakyat suara Tuhan –, demokrasi memberi tempat bagi posisi publik sebagai pusat akuntabilitas kekuasaan. Dari gagasan ini, demokrasi diikhtiarkan untuk mengembangkan akar sosial kekuasaan. Siklus demokrasi sebagai bentuk terakhir sistem politik dalam peradaban umat manusia semata-mata karena dalam demokrasi suara rakyat dihargai. Demokrasi memberi ruang tegur sapa yang lebih luas antara penguasa dan yang dikuasai, antara pejabat dan kawula, antara pemimpin dan yang dipimpin.

Industri demokrasi
Pada masa-masa awal, demokrasi banyak ditopang oleh kalangan cerdik-pandai dan kalangan yang tercerahkan alias terdidik. Arena politik demokrasi menyediakan ruang yang bebas, namun juga memberi kualifikasi etis atas hadirnya aktor-aktor politik. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, struktur yang menopang demokrasi itu mengalami perubahan secara drastis dan radikal. Kaum terdidik mulai tersingkir. Sebagai gantinya tampilnya aktor-aktor demokrasi dari dunia bisnis dan industri. Demokrasi masa kini adalah demokrasi industrial yang dimpin oleh dunia korporasi (corporate-led democracy).
Transformasi demokrasi membawa implikasi besar pada makin mengambangnya akar sosial demokrasi. Para pemimpin boleh jadi lahir dari sistem demokratis, namun kompleks industri demokrasi (democracy industrial complex) telah mengelabui massa atas penguasa yang tampil memimpin sebuah negara. Dalam topangan kompleks industri tersebut, demokrasi sedang mengalami proses borjuasi yang bukan saja membawa dampak pada watak kekuasaan, tetapi juga pada moralitas politik yang berkembang di dalamnya. Moralitas politik saat ini ditentukan oleh kekuatan modal. Inilah yang dapat menjelaskan sejumlah fenomena politik mutakhir seperti pertumbuhan partai, perilaku elite, pola koalisi serta kualifikasi aktor dalam panggung politik.
Mancur Olson (2000) – seorang ahli ekonomi-politik — secara menarik melihat pergeseran kekuasaan dari otoriter ke demokratis yang tidak selalu memiliki hubungan dengan munculnya kemakmuran yang dinikmati masyarakat. Pasca tumbangnya rezim otoriter, terjadi pula perubahan langgam dan perilaku bandit-bandit sosial. Jika pada masa otoriter terdapat bandit-bandit yang diam (stationary bandits), masa demokrasi liberal memunculkan bandit-bandit yang merajalela (roving bandits). Olson mengambil kasus di Rusia pasca runtuhnya komunisme. Transisi demokrasi – dalam pengertian negeri itu tidak lagi komunis – memang berlangsung, namun bersamanya tumbuhnya kelas bisnis baru yang memiliki impunitas atas hukum, korup dan mencengkramkan kaki mereka ke banyak ranah. Inilah yang disebut roving bandits oleh Olson.
Cerita Olson menarik untuk digunakan dalam melihat fenomena di negara kita. Barangkali roving bandits itulah yang membuat demokrasi bisa berjalan begitu mesra dengan fenomena korupsi. Corruption yes, democracy yes! Bandit-bandit itulah yang merusak demokrasi hari ini. Mereka menyusup dan saling berkelindan dalam struktur-struktur politik baru. Sialnya, struktur-struktur baru yang dihuni tersebut adalah lembaga-lembaga yang dikhtiarkan untuk mengupayakan transisi demokrasi seperti penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, dan peran-peran sejenis. Kasus-kasus besar yang kini menyita perhatian publik sesungguhnya merefleskikan bahwa kaum roving bandits tengah merajalela dalam instalasi politik di negeri ini.
Industrialisasi demokrasi terus mengalami penguatan. Akibat buruk yang harus diterima adalah hadirnya modal sebagai pembentuk moral politik dan munculnya proses borjuasi demokrasi. Di negeri ini, proses borjuasi demokrasi mulai menguat sejak reformasi berlangsung. Berlanjut dengan penyebaran demokrasi di tingkat lokal, semakin menyebar pula proses borjuasi demokrasi ke berbagai level politik di negeri ini. Institusi penopang demokrasi utama seperti partai politik, adalah lembaga yang nampaknya paling kuat terseret arus borjuasi baik dilihat dari sosok-sosok utama yang muncul maupun dari proses politik yang mengiringinya. Partailah yang mengkontuksi aktor politik dan menempatkannya dalam instalasi politik di luar dirinya, seperti parlemen dan pemimpin politik di pusat dan daerah.
Meskipun lahir dari produk demokrasi langsung, kaum elite politik kita hari ini sering dikritik sebagai kaum yang tidak memiliki akar sosial yang jelas, terutama rekam jejak mereka dalam dunia politik. Demokrasi substansial yang dibayangkan akan melahirkan aktor-aktor politik dengan kualifikasi yang berakar dalam kehidupan sosial, nampaknya mulai digantikan oleh demokrasi industrial yang ditopang oleh kuasa modal.
Demokrasi kini menjelma menjadi semacam global political ethic, tetapi diam-diam sesungguhnya sedang mengalami semacam involusi. Dalam perkembangannya kini, demokrasi bergerak ke dalam logika yang amat teknis. Dan kini logika itu perlahan-lahan mulai berubah. Gagasan demokrasi terus saja diproduksi, tetapi apakah ia memberi tempat bagi legitimasi dari masyarakat, menjadi problem dasar demokrasi di hampir semua negara saat ini, tidak terkecuali di Indonesia.
Aristoteles pernah memberikan warning ketika demokrasi yang bebas memunculkan tokoh-tokoh yang memiliki legitimasi secara politik, tetapi tidak punya legitimasi secara sosial. Filsuf ini menyebutnya dengan istilah mobokrasi – suatu bentuk deviasi dari demokrasi yang hanya menghasilkan orang-orang bodoh sebagai pemimpin atau kaum elite. Pilihan terhadap demokrasi selayaknya tidak didasarkan pada trend peradaban umat manusia, namun pada upaya member jawaban kongkrit atas dua hal. Pertama, bagaimana masyarakat lebih merasa nyaman dan sejahtera, dan kedua, bagaimana para bandit demokrasi yang menjadi parasit pembangunan tidak merasa nyaman dengan keadaan yang ada. ***

Adde M Wirasenjaya, Pengajar Departemen Hubungan Internasional Univ. Muhammadiyah Yogyakarta.

About Ade Wirasenjaya 6 Articles
Staf pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional UMY. Berminat pada kajian-kajian globalisasi, studi pembangunan serta politik lingkungan global. Menulis esai, review dan opini di berbagai media massa.
Contact: Website

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*